Tari Pendet diciptakan oleh dua orang maestro tari Bali yaitu I Wayan Rindi dan Ni Ketut Reneng pada tahun 1950. Pada awalnya tari Pendet merupakan taripemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadah umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Menurut tradisi Bali, para penari Pendet haruslah gadis yang belum menikah, karena dalam tarian tersebut mereka membawa saji-sajian suci untuk para dewa. Namun lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah tari Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern pada tari ini adalah I Wayan Rindi pada tahun 1967.
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejangyang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya. Adapun orkes gamelan yang mengiringi tari Pendet ini ialah gamelan gong, atau gamelan palegongan, atau gamelan semar pagulingan. Tari Pendet merupakan tarian masal yang bisa dibawakan oleh empat penari, enam penari, delapan atau lebih.
Tari Gopala
Tari Gopala merupakan tarian yang bertemakan kerakyatan yang ditarikan sekelompok anak-anak atau remaja Putra, dimana tarian ini digarap oleh I Nyoman Suarsa sebagai penata tari dan I Ketut Gede Asnawa,MA sebagai penata tabuh, diambil dari penggalan cerita pragmentari : “STRI ASADHU” Karya Ibu Ketut Arini,S.St. Tarian ini diciptakan pada tahun 1983. Gopala adalah sebuah istilah dalam bahasa Kawi yang berarti penggembala sapi. Tarian ini merupakan tari kelompok, dan biasanya ditarikan oleh 4 sampai 8 orang penari putra. Dalam tarian Gopala ini menceritakan aktivitas yang dilakukan oleh para pengembala di ladang pertanian/sawah. Semua aktivitas tadi dituangkan kedalam bentuk garapan tari misalnya: gerakan binatang sapi, memotong rumput, menghalau burung, membajak sawah, menuai padi dan gerak lain-lainnya yang berhubungan dengan aktivitas petani. Gerak tersebut di atas di olah menjadi pola garap yang berbau baru dengan nuansa estetika kekinian. Gerakan tari ini menjadi hidup apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan semangat.
Tari Puspanjali
Puspanjali (puspa = bunga, anjali = menghormat) merupakan sebuah tarian penyambutan yang ditarikan oleh sekelompok penari putri (biasanya antara 5-7 orang). Menampilkan gerak-gerak lembut lemah gemulai yang dipadukan dengan gerak-gerak ritmis yang dinamis, tarian ini banyak mengambil inspirasi dari tarian-tarian upacara Rejang, dan menggambarkan sejumlah wanita yang dengan penuh rasa hormat menyongsong kedatangan para tamu yang datang ke pulau mereka. Tari ini diciptakan oleh N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem (penata tari) dan I Nyoman Windha (penata tabuh pengiring) pada tahun 1989.
Tari Baris Tunggal
Tari Baris merupakan salah satu tarian sakral yang digunakan oleh umat Hindu di Bali sebagai pelengkap di suatu upacara keagamaan agama Hindu di Bali. Sifat sakral dalam tari Baris ialah, bahwa tari ini merupakan sebuah tarian untuk membuktikan kedewasaan seseorang dalam segi jasmani. Kedewasaan seseorang pria dibuktikan dengan mempertunjukkan kemahiran dalam olah keprajuritan yang biasanya disertai dengan kemahiran dalam memainkan senjata perang. Maka dari itu, tari Baris selain merupakan tarian sakral juga merupakan tari kepahlawanan. Adapun ciri khas dari tari Baris ialah, pertama tari ini lebih menonjolkan ketegapan dan kemantapan dalam langkah – langkah kaki serta kemahiran memainkan senjata perang. Kedua, pakaiannya juga mempunyai corak yang khas, yaitu penutup kepalanya bebebtuk kerucut, dan penutup badannya terdiri dari baju panjang serta hiasan kain – kain kecil panjang yaitu awir dan lelamakan.
Tari Baris terbagi menjadi 2 bagian, salah satunya adalah tari Baris Tunggal. Tari baris tunggal merupakan tarian sakral yang digunakan pada saat Upacara Pitra Yadnya yaitu Karya mamukur, dimana disini tari baris tunggal berfungsi sebagai sarana penghatur punia atau persembahan bagi para leluhur yang dihantarkan dengan mantra-mantra suci Sulinggih dan alunan gamelan pengiring tari baris tunggal itu sendiri. Tari baris tunggal merupakan tarian lepas yang dibawakan oleh seorang laki-laki, dimana menggambarkan seorang prajurit gagah perkasa yang memiliki kematangan jiwa dan kepercayaan dimana itu diperlihatkan dengan gerakan tari yang dinamis dan lugas. Berbeda dengan tari Baris Tunggal sakral, tari Baris Tunggal Profan juga biasanya ditampilkan sebagai tari lepas dalam beragam pagelaran seni pertunjukan balih-balihan
Tari Genjek
Tari Genjek adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang sampai saat ini masih berkembang di Karangasem. Seni Genjek ini awalnya merupakan salah satu seni karawitan, dimana penampilannya pada setiap kesempatan tidak terlalu banyak menggunakan berbagai jenis instrumen seperti yang terdapat pada seni kerawitan lainnya. Elemen yang paling dominan dipakai dalam seni Genjek ini adalah elemen suara (vocal) yang dikemas dalam bentuk tembang atau gending.
Disamping terdapat beberapa alat musik lain yang dipakai sebagai pengiring, yang paling unik dalam penampilan seni Genjek ini adalah adanya sarana lain yang menyertai, yang berupa minuman khas Bali, yaitu tuak. Bermula dari acara kumpul-kumpul sambil minum arak dan tuak, beberapa orang yang sudah hilang kendali dalam artian mabuk, mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak tentu dan akhirnya disahuti dengan yang lainnya. Kesan senang dan gembira terpancarkan dari cara mereka mengungkapkan kata-kata dengan berirama selayaknya sebuah lagu tersebut. Sebagian orang lainnya akan menirukan suara musik sebagai pelengkap dari genjek khususnya suara kendang dan kempul.
Kreativitas pun terus berjalan dengan masuknya para wanita yang ikut menyanyi, supaya sahut-menyahut dalam lagu menjadi lebih hidup. Tiba-tiba masuk pula alat tabuh angklung bambu (gerantangan) yang biasa mengiringi tari joged. Maka seni genjek mengalami perjalanan yang demikian cepat, dari seni mabuk menjadi seni koor khas Bali dengan irama yang demikian enerjik. Apalagi unsur mabuknya kemudian berangsur dihilangkan, serta masuknya tarian joged yang membuat tarian ini semakin bervariasi.
Tari Gabor
Tari ini merupakan tarian wanita yang mirip dengan tari Pendet. Bahkan sebenarnya tari ini hanya merupakan variasi lain dari tari Pendet, namun pembendaharaan geraknya lebih banyak, diambil dari gerak-gerak tari upacara seperti Rejang. Tari Gabor biasanya ditarikan oleh dua orang penari wanita atau lebih. Tari ini diciptakan oleh I Gusti Raka (dari Saba) seorang dosen ASTI Denpasar pada tahun 1969. Tarian yang sejenis kemudian diubah oleh I Wayan Beratha guru SMKI Denpasar pada tahun 1970. Pada tahun 1972 I Wayan Berathamenciptakan tarian yang sejenis yang dinamakan tari Panyembrama
Tari Condong
Tari Condong adalah sebagai pelestarian budaya Bali dalam upaya mengajegkan Bali. Awalnya tarian ini menampilkan dua penari yang menyimbolkan dua bidadari dari sorga yaitu bidadari Supraba dan Wilotama. Namun, dalam perkembangannya sekitar tahun 1930-an, muncul ide seniman untuk melengkapinya tarian ini. Tarian ini menjadi lebih hidup dengan mengisahkan suasana kerajaan yakni menampilkan tingkah polah sang raja dan sang abdi.
Walaupun tarian ini merupakan tarian dasar yang harus dikuasai oleh penari, hingga saat ini tak ada yang tahu siapa pencipta tarian klasik ini.
Tari Kecak
Kecak (pelafalan: /'ke.tʃak/, secara kasar "KEH-chahk", pengejaan alternatif: Ketjak, Ketjack, dan Ketiak), adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawanRahwana. Namun demikian, Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.
Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.
Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.
Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis JermanWalter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Tari Kupu–Kupu Tarum
Tari Kupu-kupu melukiskan ketentraman dan kedamaian hidup sekelompok kupu-kupu yang dengan riangnya berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Tarian ini merupakan tarian putri masal yang diciptakan oleh I Wayan Beratha pada tahun 1960-an.
Tari Jauk
Tari Jauk apabila ditinjau dari segi teknik gerak tarinya mirip sekali dengan tari Baris. Tetapi dalam tari Jauk ini penarinya menggunakan topeng Jauk dan gerakan tarinya bersifat improvisasi. Topeng Jauk selalu berwarna menyala atau putih serta dengan mata melotot yang penuh pandangan yang tajam sekali. Selain itu penari Jauk mengenakan sarung tangan yang berkuku panjang. Apabila tari Jauk dipertunjukkan dalam bentuk drama tari, yang cocok sekali ditarikan dengan tari Jauk ialah peranan Rahwana dan Bima. Usia tari Jauk kemungkinan besar sama dengan drama tari topeng yang lahir pada abad ke-XVII.
Tari Tenun
Tari Tenun merupakan tari kreasi baru yang diciptakan oleh dua orang seniman tari yaitu, Nyoman Ridet dan Wayan Likes pada tahun 1957. Cerita yang diangkat dalam tari Tenun ini menggambarkan tentang penenun-penenun wanita dari desa yang sedang membuat kain tenun dengan alat-alat yang sangat sederhana sekali. Tari ini dimulai sejak para penenun mulai memintal benang, mengatur benang pada alat tenun dan diakhiri dengan menenun. Sebagian gerak-gerak dalam tari ini masih mengacu pada unsur-unsur tarian klasik, namun sebagian lagi telah ditambahkan dengan gerak-gerak imitatif. Gerak-gerak imitatif tersebut terlihat pada saat penenun mengerjakan pekerjaannya, misalnya sedang memintal benang dan menenun.
Tari Rejang
Tari Rejang merupakan tarian wanita yang berbentuk tarian masal. Tari ini juga merupakan tarian sakral dan yang menjadi persembahan kepada para dewa ialah para penari itu sendiri. Maka dari itu para penari Rejang haruslah gadis-gadis yang masih suci, bahkan sering dilakukan oleh gadis kecil yang berumur enam tahun. Para penari dipimpin oleh seorang pemangku yang menari paling depan. Di belakang pemangku para penari Rejang berderet-deret menari sambil memegang seutas benang yang dibawa oleh pemangku. Para penari Rejang terkadang menggunakan kipas dalam tarian tersebut, namun sering juga tidak. Irama pada tarian Rejang lambat sekali dan gerakan tarinya juga sangat sederhana. Sehingga tiap gadis Bali dapat melakukannya. Tarian ini diadakan dipura pada malam hari. Iringan gamelannya menggunakan gamelan semar pagulingan.
Tari Legong
Legong merupakan kelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari tari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinyagamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.
Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.
Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipassebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.
Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.
Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.
Tari Mregapati
Tari Mregapati merupakan karakter babancihan keras yang melukiskan gerak-gerik raja hutan sedang mengintai mangsa, kemudian dikiaskan dalam kegagah-perkasaan seorang raja. Tari Mregapati ini sering juga disebut sebagai Kebyar Dong, karena diambil dari nada pertama gending tarian yang diciptakan tahun 1942 oleh seniman I Nyoman Kaler.
Tari Cendrawasih
Kisah yang digambarkan di dalam tarian ini adalah menggambarkan kelembutan serta kemesraan dari sepasang burung cendrawasih di pegunungan Irian Jaya pada masa birahi saat menghiasi alam sekelilingnya dengan tarian cinta mereka yang tersusun atas warna-warni pelangi terpendar dalam rangkuman gerak mereka yang indah bagaikan penggalan puisi para pujangga. Tari duet yang ditarikan oleh penari putri, kendatipun dasar pijakannya adalah gerak tari tradisi Bali, beberapa pose dan gerakannya dari tarian ini telah dikembangkan sesuai dengan interpretasi penata dalam menemukan bentuk - bentuk baru sesuai dengan tema tarian ini. Busana ditata sedemikian rupa agar dapat memperkuat dan memperjelas desain gerak yang diciptakan. Tarian ini diciptakan oleh N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem (yang juga sebagai penata busana dari pada tarian ini) dalam rangka mengikuti Festival Yayasan Walter Spies. penata tabuh pengiring adalah I Wayan Beratha dan I Nyoman Widha pada tahun 1988.